|WELCOME TO THE OFFICIAL WEBSITE OF RISMANSA-METRO, LAMPUNG, INDONESIA|

Senin, 24 September 2012

BIRRUL WALIDAIN LEBIH BAIK DARIPADA JIHAD FISABILILLAH







Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang amalan apakah yang paling disukai oleh Allah SWT, Beliau menjawab: “Sholat pada waktunya.” Kemudian apa lagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Birrul walidain.” Kemudian apalagi yaa Rasulullah?, Beliau menjawab: “Jihad fisabilillah.”
Kalau kita mau memperhatikan hadits ini dengan cermat, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa amalan yang paling disukai oleh Allah yang pertama adalah sholat pada waktunya, kemudian berbuat baik kepada kedua orangtua, baru kemudian yang terakhir adalah jihad fisabilillah.
Oleh karena Birrul Walidain itu lebih baik daripada Jihad fisabilillah, sudah barang tentu pahalanya juga lebih baik. Untuk itu, di bawah ini, saya sajikan dua buah hikayat. Hikayat yang pertama berkisah tentang pahala Jihad fisabilillah dan hikayat yang kedua berkisah tentang pahala Birrul Walidain. Dengan menyajikan dua hikayat ini, diharapkan para pengunjung Blog saya ini bisa memperolah gambaran yang jelas tentang keduanya.

Hikayat 1 tentang pahala Jihad fisabilillah:
Al Yafi’i pernah bercerita dari Syech Abdul Wahid bin Zaid. Pada suatu hari kami duduk di majlis kami sebagaimana biasanya, kami telah bersiap untuk pergi berperang. Sungguh aku telah memberikan perintah kepada sahabat-sahabat untuk mendengarkan suatu ayat yang akan dibacakan di muka mereka. Ada seorang lelaki yang membacakan ayat di majlis kami. “Sesungguhnya Allah telah membeli orang-orang mu’min diri dan harta benda mereka, sebab sesungguhnya mereka akan memeroleh surga.”
Lantas ada seorang anak yang masih berusia limabelas tahun atau sederajatnya berdiri, padahal ayahnya sudah meninggal dunia, namun ditinggali harta benda yang banyak, lalu berkata: “Wahai Abdul Wahid bin Zaid, sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta benda orang-orang mu’min, sebab sesungguhnya mereka akan memeroleh surga?” Aku berkata: “Ya wahai anakku yang tercinta.” Dia berkata kepadaku: “Aku telah menyaksikan kepadamu bahwa aku telah menjual diriku dan harta bendaku kepada Allah agar aku memeroleh surga.” Aku (Abdul Wahid) berkata: “Sesungguhnya tikaman pedang yang tajam lebih berat daripada itu, sedang kulihat kamu masih kecil. Sesungguhnya aku khawatir bila kamu nanti tidak sabar dan kamu tidak mampu menghadapi resiko peperangan.” Dia berkata: “ Wahai Abdul Wahid, aku sudah baiat kepada Allah agar aku mendapatkan surgaNya lantas aku tidak mampu? Aku menyaksikan kepada Allah baiatku ini.”
Abdul Wahid berkata: “Sesungguhnya kami merasa terkalahkan dengan keimanan yang dimiliki oleh anak semacam ini, lantas kami berkata di dalam hati: “Seorang anak berakal sedang kami masih kurang berakal.” Anak tersebut keluar dengan membawa seluruh harta bendanya untuk disumbangkan dalam perjuangan kecuali kuda, senjata dan bekalnya belaka.
Ketika hari yang dijanjikan untuk berangkat perang telah tiba, maka anak itu permulaan orang yang tampak pada kami, lalu berkata: “Assalamu alaikum wahai Abdul Wahid,” lalu aku menjawab salamnya dan kukatakan: “Sungguh akad jual belimu telah beruntung banyak.” Kemudian kami berjalan menuju medan tempur, sungguhpun demikian ternyata anak itu berpuasa di waktu siang dan malampun melakukan shalat. Dengan hati yang gembira dia melayani kami, memelihara binatang kami dan menjaga kami bila kami tertidur. Lantas sampailah perjalanan kami ke tanah Romawi.
Ketika kami sudah sampai di tanah Romawi, lantas pemuda itu menghadap kepada kami seraya berkata: “Sungguh rinduku telah lama mencekam kepada Al Aina Al Mardhiyah.” Lantas beberapa temanku berkata: “Barangkali pemuda itu tergoda oleh setan atau kemasukan jin atau mungkin akalnya sudah tidak sadar lagi.” Aku berkata: “Wahai anakku yang tercinta, apakah maksud Al Aina Al Mardhiyah itu?” Dia menjawab: Sesungguhnya aku pernah tidak sadar, lantas aku melihat seolah-olah ada orang datang kepadaku, lalu berkata kepadaku: “Pergilah kamu untuk menjumpai Al Aina Al Mardhiyah, lantas aku diajak berkunjung ke pertamanan yang terdapat sungai yang airnya tidak berubah. Kulihat di tepi sungai itu ada beberapa perempuan yang mengenakan pakaian dan perhiasan yang menarik, sungguh aku sulit melukiskan kecantikan dan daya tarik perhiasan dan pakaiannya.
Ketika mereka melihat aku, langsung mereka berkata: “Ini suami Al Aina Al Mardhiyah, lalu aku berkata: “assalamu alaikum, apakah ada di kalangan kamu Al Ana Al Mardhiyah?” Lalu mereka menjawab: “Kami hanya sebagai pelayannya, oleh karena itu berjalanlah terus kesana.”
Akupun berjalan menelusuri lorong-lorong di mukaku, lalu aku berjumpa dengan sungai dari susu yang putih bersih, rasanya pun tidak berubah. Di sana terdapat pertamanan yang penuh dengan dekorasi yang memikat hati dan beberapa wanita yang cantik. Ketika aku melihat mereka, akupun tertarik lantaran kecantikannya sulit kulukiskan. Ketika mereka melihat kepadaku, langsung mereka menyambutku dengan hati yang gembira, mereka berkata: “ Inilah suami Al Aina Al Mardhiyah.” Aku mengucapkan salam kepada mereka dan bertanya: Apakah diantara kamu  ada Al Aina Al Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku, dan memanggilku dengan kata wahai waliyullah, kami hanya sebagai pembantunya, oleh karena itu berjalanlah terus ke depan. Lantas akupun berjalan ke depan, tahu-tahu aku berjumpa dengan sungai dari khomer dan di tepinya ada beberapa wanita yang menarik.
Dengan daya pikat masing-masing  wanita itu, akupun lupa terhadap wanita yang sebelumnya. Akupun mengucapkan salam untk mereka, aku bertanya: “Apakah di kalangan anda ini ada Al Aina Al Mardhiyah?” Merakapun menjawab: “Tidak, kami hanya sebagai pembantunya. Oleh karena itu berjalanlah terus.”  Lalu akupun bertemu dengan sungai dari madu yang jernih, di tepinya terdapat gadis yang cantik jelita membuat aku lupa terhadap gadis sebelumnya, rupanya cahaya dan kemolekan mereka yang lebih memikat hatiku. Lalu akupun mengucapkan salam kepada mereka, aku bertanya: “Apakah di antara kalian ada Al Aina Al Mardhiyah?” Lalu mereka berkata: “Wahai waliyullah, kami sekedar pelayannya. Oleh karena itu berjalanlah terus kedepan.” Akupun berjalan kedepan, lalu aku berjumpa dengan tenda dari mutiara yang putih bersih, di depan pintunya ada gadis yang mengenakan perhiasan dan pakaian yang sulit dilukiskan keindahannya. Ketika itu dia melihat aku, lalu menyambutku dengan penuh kegembiaraan, lalu memanggil: “Wahai Al Aina Al Mardhiyah, inlah suamimu telah datang.”
Pemuda itu berkata: “Lantas aku masuk ke tenda, tahu-tahu dia lagi duduk di atas ranjang dari emas, berhias dengan mutiara dan yaqut. Ketika aku melihatnya, akupun tertarik. Dia berkata: “Selamat datang wahai wali Allah, sungguh engkau akan datang kepada kami sebentar lagi. Lalu akupun ingin merangkulnya, lantas dia menjawab: “Tenang saja, kamu masih belum diperbolehkan merangkulku, sebab engkau masih hidup di dunia, kamu akan berbuka pada kami malam ini.”
Pemuda itu berkata: “Lalu aku bangun, wahai Abdul Wahid sungguh aku tidak tahan lagi hidup di dunia, aku ingin berjumpa dengan Al Aina Al Mardhiyah.”
Abdul Wahid berkata: “Pemuda itu masih belum memutuskan pembicaraanya, lantas ada pasukan musuh yang menyerang kami. Ternyata pemuda itu tak tahan lagi untuk tinggal diam, lalu dia menyerang ke tengah musuh dan bisa membunuh sembilan orang di antara mereka, dan dia sendiri termasuk korban yang kesepuluh.”
Aku (Abdul Wahid) berjalan-jalan bertemu dengan tubuh pemuda itu yang lagi berlumuran darah segar, dia malah tetawa atas penderitaannya, lalu meninggalah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kami atas kisah pemuda itu.

Hikayat 2 tentang pahala Birrul Walidain:
Al Yafi’I pernah bercerita, sesungguhnya Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi memberikan wahyu kepada Nabi Sulaiman Bin Dawud AS agar  keluar ke tepi laut , di sana engkau akan melihat sesutau yang mengagumkan.
Lantas Nabi Sulaiman AS bersama jin dan manusia keluar, ketika sampai di tepi laut, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata tidak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, lantas Nabi Sulaiman berkata kepada Ifrit: “Hendaklah kamu menyelam ke dasar lauit ini, dan nanti kembalilah dengan membawa sesuatu yang kamu jumpai di dalamnya.” Si Ifrit pun menyelam dan kembali sececah kemudian. Lalu Ifrit berkata: “Wahai Nabi Sulaiman, sesungguhnya aku telah menyelam ke dalam dengan perjalanan yang amat jauh sekitar sekian……… Sungguhpun demikian aku masih belum sampai ke dasarnya dan aku juga tidak melihat sesuatu yang menarik.”
Nabi Sulaiman memerintah kepada Ifrit yang lain: “Berangkatlah kamu untuk meyelami laut ini dan nanti bawalah sesuatu yang kamu jumpai, meskipun sekedar pengalaman yang telah kamu lihat.” Sececah kemudian, Ifritpun kembali dan berkata sebagaimana apa yang dikatakan oleh Ifrit yang pertama tadi, hanya saja Ifrit yang terakhir ini telah menyelam dua kali.
Lantas Nabi Sulaiman berkata kepada Ashif bin Burkhiya, yaitu menteri Nabi Sulaiman yang telah disebut di dalam Al Qur’an sebagai orang yang mengerti ilmu kitab. Akhirnya Nabi Sulaiman dibawakan sebuah Kubbah dari kapur putih yang mempunyai empat pintu. Sebuah pintu terbuat dari intan, sebuah pintu yang terbuat dari yaqut, sebuah pintu yang terbuat dari mutiara, dan sebuah pintu yang terbuat dari Zabarzad yang hijau.
Seluruh pintu itu terbuka, namun setetes airpun tidak ada yang masuk ke dalamnya, padahal kubbah itu berada di laut yang paling dalam, sekitar perjalan Ifrit yang pertama tiga kali. Lantas kubah itu diletakkan di depan Nabi Sulaiman, tahu-tahu di dalamnya ada seorang pemuda yang berpakaian baik, bersih sedang menjalankan shalat. Nabi Sulaman masuk ke dalamnya dan  mengucapkan salam kepadanya, lalu berkata kepada pemuda itu: “Apakah yang mebuatmu bisa bertempat tinggal di dasar laut ini?” Pemuda itu menjawab: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya ayahku itu seorang yang lumpuh, sedangkan ibuku tuna netra, aku berusaha untuk melayaninya selama tujuh puluh tahun.”
Ketika ibuku akan meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya Allah berilah anakku usia yang panjang untuk datang kepadaMu.” Begitu juga ketika ayahku akan meninggal dunia, dia berdo’a: “Ya Allah berilah anakku kesempatan untuk beribadah kepadaMu di suatu tempat yang sekiranya tidak bisa dilalui oleh setan.”
Lantas aku keluar ke tepi laut ini setelah aku mengebumikan mayat ayah dan ibuku, lantas aku melihat kubbah ini di depanku. Aku masuk ke dalamnya untuk melihat keindahan di dalamnya. Akhirnya ada malaikat yang datang padaku dan membawanya bersamaku ke dalam laut ini. Lantas Nabi Sulaiman bertanya: “ Kira-kira kapan kamu sampai ke tepi pantai ini?” Pemuda itu menjawab: “Kira-kira pada jaman Nabi Ibrahim Al Kholil.”
 Nabi Sulaiman mengingat tentang sejarah Nabi Ibrahim yang bisa diperkirakan dua ribu empat ratus tahun yang silam. Sungguhpun demikian, pemuda itu masih tetap muda tidak ada satupun uban di rambut kepalanya.
Nabi Sulaiman bertanya: “Bagaimanakah makanan dan minumanmu?” Pemuda itu menjawab: “Pada tiap hari ada seekor burung hijau yang membawa sesuatu yang kuning di patuknya seperti kepala manusia, lalu aku memakannya. Aku bisa merasakan segala kenikmatan di dnia. Dengan memakannya aku tidak terasa laar dan haus, panas dingin dan tidurpun aku tidak ada kedinginan lagi, aku tidak terasa susah, tidak jemu.”
Lantas Nabi Sulaiman berkata: “Apakah kamu senang bersama kami?” Pemuda itu menjawab: “Kembalikan aku ke tempatku wahai Nabi Allah.” Nabi Sulaiman berkata kepada Ashif: “Wahai Ashif kembalikan ke tempatnya.” Nabi Sulaiman menoleh dan berkata: “Lihatlah, bagaimana Allah mengabulkan do’a kedua orang tua lelaki ini. Oleh sebab itu, aku peringatkan kepadamu jangan sampai durhaka kepada kedua orang tua.”

0 komentar: